Wednesday 16 May 2012

Interview Assignment in English lesson


 This is Mr. Yawn from Holland

This is Mrs. Yorhana from Holland

This is Alexe from Los Angeles



She is Luna from Holland


He is David from Spain

This is Khasan he's from Pakistan

Friday 11 May 2012

Nice Cerpen

Nih ada Cerpen yang cukup bagus (bagi gue yahhh....). Mungkin ini juga bakalan menarik di baca bagi lu yang pengen tahu tentang pendidikan di Indonesia..Di sini sih gue cuma pengen ngasih tau aja ya.....Jadi gue ga bermaksud untuk nyindir pihak manapun.....Siapa tau bakalan jadi inspirasi atau apalah gitu....yah gue berharap sih berguna bagi lu yang baca cerpen ini.........

Generasi Stres Masa Depan

Dalam salah satu cerpen nya yang berjudul "Kami Lepas Anak Kami", sastrawan Gus Sakai menuliskan keprihatinannya atas kondisi Indonesia saat ini. Cerpen tersebut bercerita tentang para orangtua yang setiap pagi, melakukan prosesi melepas kepergian anak-anaknya ke sekolah. Anak-anak mencium tangan sang Ayah, kemudian melambaikan tangannya untuk masuk ke dalam pekarangan sekolah. Rutinitas, setiap hari.

Namun pada suatu hari, sang Ayah ingin masuk ke dalam ruangan sekolah tersebut untuk bertemu kepala sekolahnya. Dia harus naik ke lantai dua, lantai tiga dan entah berapa lantai lagi, kemudian masuk ke ruangan, belok kanan, ke ruangan lagi, belok kanan, belok kiri, masuk ke ruangan yang gelap dan dingin hingga akhirnya dia baru menyadari, tak pernah bertemu dengan guru-guru dan kepala sekolah. Tiba-tiba ia berada di sebuah ketinggian dan bisa melihat pemandangan yg sangat "menakjubkan" : ribuan orangtua di sebuah lapangan, melakukan prosesi melepas anak-anaknya ke sekolah, dan ketika memasuki pekarangan sekolah, anak-anak itu berubah menjadi robot-robot yang menyandang tas dengan terbungkuk-bungkuk .....

Ya, anak-anak sudah menjadi robot. Setiap hari harus menanggung beban mata pelajaran, menghafal rumus ini-itu, membuat tugas, les ini-itu, ikut pelatihan ini-itu, ikut bimbingan mata pelajaran untuk Ujian Nasional, untuk masuk perguruan tinggi, untuk masa depan mereka katanya. Mereka kehilangan waktu bermain; kehilangan keindahan masa kecil; belajar pagi sampai sore; ketika sampai ke rumah harus belajar lagi untuk esoknya dan kadang tak bisa pernah menikmati tidur nyenyak. Yang terbayang adalah guru-guru yang siap memberikan hukuman di sekolah ketika mereka terlambat masuk; ketika tidak membuat tugas; ketika tidak hafal rumus; ketika sepatunya tidak seragam; ketika uang sekolahnya terlambat; ketika uang beli bukunya terlambat hingga mereka lupa sarapan atau sekadar minum susu yang kini harganya melangit dan itu pun isunya tercampur bakteri mematikan. Sistem pendidikan kita tidak memberikan tempat kepada siswa untuk berpikir bebas, mempertanyakan sesuatu, berdiskusi dan sebagainya. Anak-anak dicekcoki dengan dogma dan aturan-aturan yang membuat mereka benar-benar dihantui.

Lihatlah di setiap pagi ketika musim ujian tiba; di jalanan ketika mereka diantar oleh ayah atau ibu mereka, banyak yang duduk di sadel kendaraan bermotor sambil membuka buku pelajaran dan membaca ketika kendaraan melaju kencang di tengah hiruk-pikuk dan semrawutnya lalu lintas. Mereka memaksakan diri untuk hafal rumus atau teori-teori tanpa aplikasi, yg mungkin akan keluar dalam ujian nanti. Sebuah cara belajar yang membahayakan dirinya, sang Ayah atau Ibu yg mengantar dan mengendarai motor atau pengendara lainnya. Mereka hanya punya satu keinginan: tidak salah dalam ujian nanti, maka berbagai cara dilakukan, termasuk membaca di atas motor. Maka beruntunglah bagi mereka yang diantar dengan mobil oleh Ayah atau Ibunya.

Menjelang meninggalkan sekolah di akhir kelas III, mereka juga harus menghadapi persoalan yang berat: ujian nasional. Inilah monster yang beberapa tahun terakhir menghantui anak-anak sekolah. Mereka harus mencapai nilai yang sudah ditentukan oleh pusat untuk bisa lulus, kalau tidak ingin mengulang lagi. Per mata pelajaran harus mencapai nilai tersebut dan tidak dihitung komulatifnya seperti sistem ujian nasional sepuluh atau lima belas tahun lalu ketika Nilai Ebtanas Murni (NEM) hanya menjadi salah satu syarat lulus, dan bukan satu-satunya syarat lulus.

Entah akan jadi apa generasi kita kedepan ketika beban berat di pikiran mereka sudah ditumpukkan bahkan ketika mereka masih di bangku sekolah. Bukan tidak mungkin, keinginan untuk mendapatkan generasi cerdas di masa depan, akan berubah menjadi monster baru: generasi stres yg tak mampu menerima sebuah sistem pendidikan dan pengajaran yg dipaksakan oleh negara!



http://destywahyuniginting.blogspot.com/2012/04/generasi-stres-masa-depan.html